H. Abdul Waris Ahmad
(PNS Kankemenag Kab. Wajo)
Sebuah paradigma lama dan menjadi tata nilai dalam masyarakat adalah buruknya “nilai politik”. Jika politik itu dikaitkan dengan politikus atau para pegiat sosial kemasyarakatan, maka itu sangat wajar dan sah-sah saja. Namun, jika dikaitkan dengan ulama, ustadz, pendeta, dan ahli agama, maka seakan politik berubah menjadi haram dan akibatnya mereka tidak wajar bersentuhan dengan politik karena dianggap kotor dan penuh dusta.
Ulama yang mencoba masuk ke ranah politik praktis akan mendapat catatan buruk dari masyarakat. Nilainya sebagai seorang ahli agama akan tercoreng. Tidak jarang ulama yang masuk ke ranah itu, mendapat cacian dan bahkan ditinggalkan oleh umatnya.
Benarkah politik itu buruk? Islam sangat mementingkan politik. Setidaknya ada dua alasan yaitu hirashah al diin (menjaga agama), dan siyasah al dunya (mengatur bumi). Dalam sejarah tercatat bahwa Rasulullah, selain sebagai pemimpin Agama, negara, juga sebagai ahli dalam berpolitik. Piagam Madinah adalah contoh politik Rasulullah yang amat hebat.
Rasulullah yang berfungsi sebagai Nabi dan tokoh politik, sukses besar dalam menjalankan pemerintahan Islam. Dua suku, Aus dan Khazraj yang sudah berabad-abad bermusuhan berhasil dipersaudarakan, Kristen, Yahudi, Nasrani, dan bahkan kaum Pagan bisa hidup berdampingan damai dan tentram di kolong bumi Madinah. Hal ini bisa terjadi karena kepiawaian seorang politikus Islam yang berintegritas tinggi; santun, jujur, amanah, dan disiplin. Demikian halnya kepemimpinan sahabat dengan model khilafah.
Tidak boleh memisahkan dua kepentingan besar dalam Islam yaitu kepentingan menjaga agama dan kepentingan mengatur bumi. Sebagaimana tidak boleh memisahkan ulama dengan perannya sebagai pewaris nabi yang wajib mengurus bumi Allah.
Masyarakat sebaiknya pandai dan mengetahui sejarah, bahwa Ulama adalah Pewaris Nabi. Mereka mempunyai tugas yang mulia, yaitu menjaga agama dan memperjuangkan kebutuhan dan keadilan masyarakat, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh para khalifah dan ulama salaf.
Jika paradigma masyarakat seperti diatas tetap dipelihara, maka bukan tidak mungkin agama Islam akan rusak, mundur dan stagnan karena urusan itu direkomendasikan kepada para politikus murni yang kurang paham akan nilai-nilai ajaran Islam. Masyarakat akan semakin tidak berdaya. Integritas yang mereka miliki tidak teruji karena kedangkalan pengetahuan agama mereka.
Ibnu Aqil Al Hanbali mengatakan bahwa politik adalah maa kaana fi’lan yakunu ma’ahu al naasu aqraba ila al shalaah wa ab’ada an al fasaad, wa in lam yadha’hu al nabiyyi wa laa nazala bihi wahyun. Politik adalah suatu upaya strategis untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, menjauhkan mereka dari kerusakan. Meski belum pernah diletakkan oleh Nabi dan tidak ada landasan wahyunya.
Islam menilai politik sebagai sebuah upaya dalam rangka menjaga agama dan kehidupan dunia. Kendati tidak ada aturan pasti dari nabi, namun dalam prakteknya membuahkan berbagai action cerdas dan menyejukkan. Nabi menyerahkan urusan kemaslahatan kepada umat-Nya antum a’lamu bi umuuri dunyakum, kamu lebih tahu akan urusan dunia-mu.
Beberapa bentuk pemerintahan yang pernah ada di belahan dunia adalah; teokrasi yaitu kepemimpinan yang ditunjuk langsung oleh Tuhan. Monarki, kepemimpinan berdasarkan keturunan atau kerajaan. Autokrasi, kepemimpinan kebal hukum. Demokrasi, kedaulatan ditangan rakyat, dan khilafah yaitu dipimpin oleh seorang amirul mukminin untuk semua umat di seluruh dunia. Khilafah diyakini sebagai salah satu model pemerintahan yang paling bagus yang pernah ada. Namun, tidak bisa dipaksakan keberlakuannya karena setiap negara memiliki caranya sendiri.
Indonesai memiliki ijtihad dalam memerankan “politiknya”. Pancasila dan Undang-undang dasar adalah sebuah wadah pemersatu bangsa. Seluruh aturan yang ada berdasarkan nalar yang baik dan tidak bertentangan dengan nilai Islam, tentu juga nilai dalam agama lain. Negara dengan jumlah penduduk, suku, bangsa, dan bahasa terbanyak di dunia, mampu membawa masyarakat yang damai, toleran, dan aman.
Sebaiknya, masyarakat yakin bahwa dengan memberikan mandat kepada ulama dalam memainkan politiknya, negara akan aman, masyarakat akan makmur, damai dan sejahtera. Sebaliknya jika mandat itu dibebankan kepada orang yang tidak paham agama, maka praktek kolusi, nepotisme, dan korupsi semakin menjamur.
Semakin banyak tokoh agama yang mengambil peran dalam menjalankan politik, baik di legislatif, yudikatif, dan eksekutif, maka akan membawa dampak yang lebih positif. Para pemuka agama baik Islam, Kristen, Katolik Budha dan lainnya, jika sudah bersatu dalam meramaikan politik aktif akan membawa kemaslahatan yang lebih besar.
Wallahu A’lamu Bish-Shawab
Editor : Hamzah Alias