Oleh : Abd. Waris, S.HI., M.HI
(PNS Kankemenag Kab. Wajo)
Pada zaman risalah, kehidupan sahabat adalah golden era, akan tetapi sangat stagnasi karena semua persoalan dapat terselesaikan dengan cepat lantaran di tengah mereka ada Rasulullah. Sahabat dalam menyelesaikan perkara-perkara tertentu tidak kesulitan. Semuanya dikembalikan kepada pemimpin negara yang juga pemimpin umat, Rassulullah. Alhamdulillah.
Kompleksitas kehidupan sahabat mulai terasa ketika Rasulullah telah tiada. Ekspansi yang mereka lakukan dalam rangka penyebaran agama Islam menemukan banyak persoalan yang pemecahannya tentu tidak semua tersaji secara terinci dalam Alquran dan hadis nabi.
Kondisi dan situasi kehidupan masyarakat tentu sangat variatif. Pelaksanaan syariat Islam tidak serta merta langsung dapat diaplikasikan karena tahapan, pemahaman serta kondisi georafis, adat kebiasaan, dan psikologi mereka berbeda-beda.
Di zaman golden era ini sekali pun, terkadang masih membutuhkan penyelesaian dari sahabat tanpa kehadiran pemimpin negara.
Ketika Rasulullah mengutus Muaz bin Jabal berdakwah di negeri Yaman, Rasulullah mengingatkan bahwa kondisi masyarakat di sana akan berbeda dengan kondisimu. Bagaimana jika kamu menemukan sesuatu yang harus kamu selesaikan sendiri, dengan apa kamu bertindak? Muaz menjawab, “Dengan kitab Allah!” Rasul lantas berkata, “Jika kamu tidak menemukan dalam Alquran?” Muaz menjawab, “dengan Sunnah Rasulnya”. Rasul bertanya lagi, “Jika tidak kamu temukan juga?” Muaz menjawab, “Saya akan putuskan dengan ra’yu atau ijtihadku sendiri.”
Setelah Muaz menjawab semua pertanyaan itu, nabi menepuk dada Muaz dengan penuh rasa bangga dan takjub kepada sahabatnya. Tepukan itu menandakan bahwa Rasulullah bangga atas pemahaman Muaz yang akan menjadi dutanya dalam menjalankan dakwah di Yaman yang secara geografis dan psikologis sangat berbeda dengan Mekah dan Madinah.
Benar. Bahwa Islam akan menyesuaikan diri dengan tempat di mana hukum-hukumnya akan di terapkan. Sebagai agama yang menjadi rahmatan lil alamiinalamiin, Islam sangat fleksibel. Tidak pernah memaksakan keberlakuannya bilamana kondisi masyarakat belum sanggup menerimanya.
Suatu ketika Rasulullah menyampikan kepada sekumpulan sahabat yang melakukan safar atau perjalanan, bahwa janganlah salah seorang di antara kalian melaksanakan salat asar kecuali setelah tiba di Bani Quraizah. Semua sahabat meng-ia-kan. Akan tetapi, sebelum sampai di tempat itu, waktu asar sudah tiba.
Kondisi inilah yang membuat sahabat terbagi dua. Satu kelompok melaksanakan salat asar di perjalanan, dan kelompok yang lain tetap bersikukuh melanjutkan perjalanan memburu waktu sampai ke Bani Quraizah.
Ketika sampai di hadapan Rasulullah, mereka melaporkan kejadian itu. Setelah mendengarkan alasan masing-masing dari dua kubu yang berbeda tadi. Apakah Rasulullah marah? Apakah Rasulullah mengancam? Atau menganggap mereka tidak patuh dan menyalahi sunnah?
Tentu tidak. Justru Rasulullah “mengapresiasi” mereka. Yang melaksanakan salat asar sebelum tiba di bani Quraizah mendapatkan jempol karena mampu berijtihad dan penuh kehati-hatian terhadap perintah salat. Yang lain, juga mendapatkan apresiasi karena kepatuhan dan ittiba’ kepada perintah nabi apa adanya atau sami’na wa atha’na.
Peristiwa itu adalah sebuah lubang jarum yang kemudian menjadi pintu besar-lebar bagi peluang terbukanya pintu ijtihad.
Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah tidak menjatuhkan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian sesuai hukum had syariat Islam. Hal itu dilakukan oleh Umar karena sangat paham akan kondisi pelaku pencurian, yakni seorang miskin yang sangat lugu, hatinya akan sangat tergoncang bilamana hukum itu dipaksakan kepadanya, bahkan bisa saja meninggalkan agama Islam.
Tulisan ini berupaya megambil benang merah dari term “Islam Nusantara”.
Sejak tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi secara resmi mendukung Islam nusantara yang merupakan corak Islam moderat, sangat cocok dengan budaya Indonesia. term ini menjadi viral yang kemudian dipahami oleh sebagian orang bahwa itu “proyek” liberalisasi ajaran Islam, berupaya untuk memaksakan Islam tunduk kepada budaya.
Islam Nusantara sesungguhnya tidak jauh beda dengan term “Islam Berkemajuan” oleh Muhammadiyah, Islam Arab, Islam Pakistan, Islam Amerika. Penggalan istilah itu, bukan berarti berusaha mengkota-kotakkan Islam, apalagi membatasi makna Islam kaffah itu, tidak sama sekali. Islam tetap Rahmatan lil alamin.
Kontekstualisasi Islam sudah sejak lama dilakukan oleh para ulama “founding father” bangsa yang menjadi ciri Islam yang ada di Nusantara. Proses akulturasi itu, seyogyanya diyakini sebagai bagian dari fleksibilitas ajaran Islam. Dalam sebuah kaidah fikhiyah تغير الحكم بتغير الأزمنة و الأمكنة و الأحوال “perubahan hukum itu berdasarkan perubahan zaman, tempat, dan keadaan (adat istiadat).
Saya melihat bahwa term “Islam Nusantara” tidak jauh beda dengan akulturasi mazhab pada zamannya. Susah diterima, mereka menganggap bahwa mazhab fikih atau mazhab kalam sering dianggap sebagai cara untuk mengkerdilkan Islam.
Islam nusantara hanya sebuah “manhaj atau teknis” yang dipakai untuk menggambarkan penampakan wajah Islam di sebuah komunitas. Islam Nusantara adalah kiasan yang mendeskripsikan Islam di Indonesia dan negara tetangga.
Negara dengan banyak pondok pesantren, itulah ciri Islam di Indonesia. Atau Pondok Pesantren As’adiyah dengan ciri khasnya “mangaji tudang” pengajian halaqah di depan maha guru dengan duduk bersila, masuk toko-mall belanja dengan menggunakan sarung dan topi, menyampaikan Khotbah dengan menggunakan jas dan topi dengan pengantar Bahasa Bugis.
Pahamilah bahwa term “Islam Nusantara” bukanlah sebuah keyakinan, bukan sebuah akidah. Melainkan sebuah istilah yang mencerminkan Islam dengan budaya, adat istiadat, dan keramahannya. Pemahaman itu, merupakan sebuah arti dari kontekstualisasi ajaran Islam. Hindarilah menjadi penganut agama yang konservatif, tidak menginginkan perubahan, sementara perubahan itu sendiri sudah dinikmatinya. Perubahan itu sudah memasuki kamar tidur-nya tanpa dia sadari.
Editor : Hamzah Alias