Oleh: Atifatul Mukarrama
(Guru MTs. DDI Tarumpakkae)
Al-Quran adalah kitab suci yang memuat aturan-aturan sangat jelas tentang kehidupan manusia, baik dari segi lahiriyah maupun bathiniyah (Muhammad A.Summa;1997). Secara historis Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tatkala dikukuhkannya beliau sebagai Rasul Allah. Al-Quran diturunkan saat itu di tengah berbagai macam problematika ummat, mulai dari kesyirikan, penindasan, kebodohan, kedzhaliman, konflik antar golongan, dan segala bentuk ragam kemungkaran.
Diturunkannya Al-Quran yang dimulai dengan ayat “iqra” mengisyaratkan pentingnya membaca sebelum beraksi atau berdakwah. Jika direfleksi dari dimensi historis turunnya wahyu Allah ini, maka dapat di katakan bahwa Al qur’an tidak turun di ruang hampa, melainkan turun untuk menjawab realitas zaman. Dengan petunjuk hidup keselamatan yang dituangkan dengan kisah- kisah inspiratif ummat terdahulu, berbagai macam perumpamaan- perumpamaan, perintah, larangan, janji, dan ancaman Allah swt. Sehingga ummat Islam meyakini Al-Quran sebagai sebuah teks suci yang diagungkan dan berfungsi sebagai petunjuk (al huda), pembeda antara kebatilan dan kebenaran (al furqan), penyembuh (syifa), nasehat (mauizah), dan juga sebagai sumber informasi (bayan).
Para ilmuan pun telah banyak mengkaji konten Al-Quran, baik ilmuan Barat maupun ilmuan Islam. Dan hingga akhir zaman Al-Quran adalah kitab petunjuk yang dijamin orisinalitas, kesempurnaan, dan kemukjizatannya. Karena telah banyak bukti kebenaran Al-Quran yang selalu sesuai dengan akal, ilmu pengetahuan, dan fenomena kehidupan. Muatan Al-Quran sangat auntentik untuk dijadikan sumber dan sistem nilai. Di dalamnya memuat petunjuk – petunjuk kehidupan, bahkan soal tata hidup masyarakat, petunjuk beragama dan berbangsa. Namun, sepertinya nilai-nilai idealisme Al-Quran mengalami pergeseran fungsi jika di lihat dengan kacamata realitas ummat zaman now atau zaman sekarang.
Tentu saja, Al-Quran adalah petunjuk abadi yang selalu kontekstual dengan zaman. Namun ummat muslim yang tidak optimal mengfungsikan al quran sesuai tujuannya. Fenomena zaman now dengan berbagai macam huru hara yang dihidangkan, berbagai pelanggaran kemanusiaan, kekerasan, ketidakadilan, dan yang paling mengancam integrasi ummat adalah fenomena hoax. Ini membuktikan adanya kesenjangan antara idealisme nilai spirit Al-Quran dan realitas yang terjadi di lapangan.
Boomingnya berita hoax merupakan salah satu contoh dari sekian kasus yang membahayakan ummat dan bangsa ini. Tentu ini sangat melenceng jauh dari perintah al quran.
“Bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. (Q.S Al Ahzab: 70). Ayat ini menceritakan tentang buthan (tuduhan tanpa bukti) yang dilakukan oleh kaum nabi Musa, terhadap Nabi Musa. Dari konteks ayatnya, qaulan sadida merupakan perkataan yang jelas, tidak meninggalkan keraguan, meyakinkan, perkataan yang benar dan tidak mengada-ada.
Namun, apa yang terjadi dengan realitas? Berita hoax begitu massif tersebar di Indonesia, ini berangsur terus menerus setiap ada momentum. Terlebih di tahun politik ini, berita hoax diproduksi dengan system yang begitu rapi dan terorganisir. Pakar hukum tata Negara, Mahfud MD mengeluarkan pernyataan bahwa “hoax sangat berbahaya, bukan hanya terkait urusan politik, namun juga hoax kini mulai menyangkut agama dan ideologI, yang akan berpotensi merusak tatanan kehidupan berbangsa”.
Ada yang membayar, ada yang dibiayai, masyarakat awam sebagai konsumen informasi pun terlena dan menerima begitu saja. Padahal dalam Al-Quran manusia diperintahkan untuk berpikir kritis, menganalisis, dan bertabayyun. Perihal tabayyun sangat jelas dikisahkan dalam Al-Quran surah al Hujurat ayat 6. Perihal term “fatabayyanu”, ath-Thabari memaknainya “endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya”. Anehnya zaman ini adalah, produsen, konsumen, dan korban berita hoax dimana mereka justru beragama Islam yang meyakini kitab suci Al-Quran sebagai wahyu petunjuk kehidupan.
Problematika kesenjangan antara idealisme Al-Quran dan realitas zaman diatas sepatutnya membuat ummat Islam berpikir untuk kembali mengkaji dan mengamalkan Al-Quran. Aneka problematika kemanusiaan, kebangsaan, dan keummatan yang belum menemukan secercah cahaya jalan keluar, membutuhkan kaum-kaum pencerah yang terjun memperbaiki moralitas anak bangsa yang semakin carut-marut. Salah satu metodenya adalah, mesti ada upaya kolektif dari kaum yang masih diberikan kesadaran untuk membumikan dakwahnya, dengan salah satu fokus program yaitu program mengamalkan ayat-ayat Al-Quran. Meski hanya satu ayat setiap minggu, atau setiap bulan yang dikaji, namun diamalkan secara continue. Bukankah Rasulullah mengungkapkan bahwa, amalan yang disukai Allah itu yang sedikit, namun istiqamah atau terus menerus dan berkelanjutan.
Jika ini menjadi tradisi, tentu akan membentuk karakter dan jiwa kita, khususnya para generasi muda yang belum tercemari oleh virus ketamakan akan kekuasaan dan kepentingan. Penulis merindukan sosok seperti KH. Ahmad Dahlan (tokoh pendiri Muhammadiyah) yang tercatat dalam sejarah dengan ketulusan, keikhlasan, dan kecerdasannya mengajarkan QS. Al-Maun kepada muridnya selama berulang-ulang kali, hingga muridnya merasa bosan dan bertanya, mengapa pembahasannya tentang ayat itu terus. Beliau pun menafsrikan teologi Al-Maun tersebut dan langsung menggerakkan hati muridnya mengamalkan surah itu dengan pergi mencari kaum dhuafa untuk dibagikan sedekah. Alhasil, spirit Al-Maun menginspirasinya mendirikan lembaga sosial, seperti panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga amil zakat infaq sadaqah atau saat ini dikenal dengan LAZISMU. Zaman sekarang, Indonesia butuh sosok seperti beliau. Semoga akan hadir KH.Ahmad Dahlan dengan wajah baru yang mampu mengajarkan untuk membaca, memahami, dan mengamalkan isi Al-Quran. Generasi yang mantap membaca teks, memahami, dan mengaktualisasikan spirit idealism Al-Quran untuk menyelesaikan ragam ironi dan problematika ummat.
Wallahu A’lam Bish-Shawab
Editor : Hamzah Alias