Oleh : H. Abdul Waris Ahmad
(PNS Kankemenag Kab. Wajo)
Islam sejatinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Elastisitas hukum-hukumnya menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengkaji ilmu keislaman. Baik mereka dari kalangan akademisi-praktisi, muslim maupun non muslim.
Proses akulturasi ini, kemudian me-roketkan nilai “salihun li kulli zaman wa makan” Islam cocok untuk segala perubahan tempat dan zaman. Sayangnya, oleh sebagian pihak masih menganggap bahwa hukum Islam bersifat statis dan tidak perlu mengikuti perubahan wilayah, kondisi, dan waktu.
Imam Ibnul Qayyim Alal-Jauziyah dalam bukunya I’lam al-Muawaqqi’in An Rabbil Alamin, menegaskan bahwa dalam hukum Islam setidaknya ada lima hal yang amat penting menajadi pijakan dalam menetapkan suatu hukum yaitu; waktu, tempat, niat, situasi (ahwal), dan adat istiadat.
Tulisan sederhana ini berupaya menampilkan beberapa pandangan yang telah dikaji oleh sebagian ulama dari Nahdatul Ulama. Mereka melakukannya berlandaskan Alquran dan hadis terkait kemungkinan budaya bisa mengakomodir atau menjadi bagian dari hukum Islam.
Redaksi ayat Alquran dan hadis yang mengakomodir budaya/tradisi:
Pertama, Pada zaman jahiliah salah satu tradisi mereka adalah memakan riba secara berlipat-ganda, bukan riba yang sedikit. Akan tetapi tidak satupun ulama mujtahid yang membolehkan meskipun sedikit. lafal اضعافا مضاعفة (QS. Ali Imran: 130) merupakan pengakomodasian budaya kafir jahiliah yang saat itu berlomba-lomba dan bangga dengan riba yang berlipat ganda (baca Rawa’i al-Bayan, Jilid I. h. 292-293).
Kedua, QS. al-Nisa: 23, tentang menikahi anak tiri. Dalam ayat ini menunjukkan keharaman menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi jika anak tiri tersebut dirawat ayah tirinya. Tetapi tak ada seorang pun imam Mujtahid yang menghalalkan orang menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi, baik anak tersebut dirawat ayat tirinya atau tidak. Penyebutan lafal في حجوركم merupakan pengakomodasian budaya jahiliah dimana jika ada perceraian maka anak perempuan mereka cenderung mengikuti ibunya meskipun harus bersama ayah tiri daripada mengikuti ayahnya tapi harus hidup bersama ibu tiri karena biasanya yang kejam adalah ibu tiri bukan ayah tiri (Baca bahsul masail NU).
Ketiga, QS. al-Nur: 26, menjelaskan tentang perempuan dan laki-laki jalang. Secara literal, ayat ini menjelaskan bahwa perempuan jalang untuk laki-laki jalang, demikian pula sebaliknya; perempuan salehah untuk laki-laki saleh dan sebaliknya. Penjelasan ayat tersebut hanya mengakomodasi budaya, yakni orang-orang baik biasanya akan memilih orang-orang baik pula, demikian sebaliknya. Padahal dalam syariat tidak diharamkan perempuan jalang dinikahi laki-laki saleh dan sebaliknya. Secara implisit mengajarkan untuk melestarikan tradisi.
Keempat, Anjuran menjaga etika daripada melaksanakan perintah yang tidak wajib. Meskipun ada hadis yang melarang berdiri karena kedatangan nabi saw, namun dalam hadis lain nabi membiarkan sahabtanya (hassan) berdiri menghormati sesuai tradisi masyarakat arab (baca riwayat Muslim).
Pengakomodiran Tradisi Jahiliah Menjadi Ajaran Islam:
Pertama, tradisi puasa asyura yang selalu dilakukan oleh masyarakat jahiliah diakomodir menjadi sunnah dalam Islam (baca riwayat Muslim, Syarah Imam Nawawi, jilid 8; h. 9);
Kedua, akikah yang menjadi tradisi masyarakat arab diakomodir menjadi sunnah dalam Islam, kecuali mengolesi kepala bayi dengan darah hewan akikah diganti dengan mengolesinya dengan minyak wangi (HR. Abu Daud dan Hakim);
Ketiga, ritual-ritual haji. Kebiasaan mereka adalah tawaf (mengelilingi kakbah) dengan telanjang, Islam datang mengakomodir dengan tetap melestarikan tawaf, namun mengganti pakaian telanjang dengan berpakaian ihram dan;
Keempat, kebolehan menerima hadiah makanan dari tradisi kaum majusi di hari raya mereka selain daging sembelihannya (Ibnu Abi Syaibah, jil 12, h. 249).
Pendekatan Terhadap Tradisi atau Budaya:
Pertama, pendekatan adaptasi. Hal ini dilakukan untuk menyikapi tradisi yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat. Bahkan merupakan implementasi dari ahlak mulia yang dianjurkan oleh nabi saw seperti dermawan, pemaaf, menghormati yang lemah, berbaut baik kepada anak yatim dan berbuat baik kepada tetangga. “و خالق الناس بخلق حسن”
Kedua, pendekatan netralisasi. Menyikapi budaya yang didalamnya terdapat percampuran antara hal-hal yang diharamkan dan dapat dihilangkan dengan hal-hal yang dibolehkan. Nertalisasi terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan menghilangkan keharamannya dan melestarikan selainnya, seperti dalam QS. al-Baqarah: 200. Imam Mujahid menjelaskan bahwa tradisi orang arab setelah melaksanakan ibadah, berkumpul becerita saling membanggakan nenek moyang dan nasab mereka yang dilarang dalam Islam. Islam datang tidak melarang perkumpulannya, namun diisi dengan zikir dan ceramah. Hal ini menjelaskan bahwa Islam tidak menghapus budaya, akan tetapi menggantinya dengan yang baik-baik. (asbab al-nuzul/1/39)
Ketiga, pendekatan minimalisasi. Ini dilakuan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang belum bisa dihilangkan seketika. Minimalisasi budaya seperti ini dilakukan dengan cara: mengurangi keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan menggantinya dengan keharaman yang lebih ringan; membiarkannya dengan tujuan dapat melalaikan pelakunya kepada keharaman yang lebih berat. seperti mencuci darah dengan kencing, kemudian mencuci kencing dengan air. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengkategori langkah ini dengan empat tingkatan yaitu: menghilangkan seketika dan menggantinya; mengurangi meskipun tidak dihilangkan keseluruhan; mengganti dengan yang sepadan dan; mengganti yang lebih buruk. Dua yang pertama itu yang dibolehkan. seperti main atur dan main lainnya yang dengan taruhan.
Keempat, pendekatan amputasi. Dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan. Amputasi semacam ini dilakukan secara bertahap, seperti terhadap keyakinan animisme dan dinamisme. Meskipun dilakukan dengan cara menghilangkan sampai akarnya. Sebagaimana nabi melakukannya dengan bertahap terhadap keyakinan paganisme di masyarakat arab, menghancurkan fisik berhala, keyakinan, pemikiran, dan kebudayaan. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan setelah dakwah nabi berusia 21 tahun yakni setelah fathu Makkah (penaklukan kota Mekah).
Melestarikan budaya yang menjadi media dakwah:
Tradisi atau budaya kirim doa kepada mayit pada hari ke 40, 100, dan 1000 hari dari kematiannya yang tidak bertentangan dengan agama, justru menarik masyarakat berkirim doa bagi orang yang telah meninggal dunia. Bahkan jika tradisi ini dihilangkan, justru akan menghilangkan juga kebiasaan berkirim doa.
Dari pandangan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama, bahwa hukum Islam akan berlaku dan menyesuaikan diri dalam berbagai keadaan;
Kedua, budaya atau tradisi sangat diakomodir oleh hukum islam;
Ketiga, perubahan bukanlah pada persoalan mengubah yang haram menjadi halal, yang halal menjadi haram, meniadakan perintah dan larangan, akan tetapi mengkondisikan hukum sesuatu. Zakat fitrah misalnya, tetap menjadi sebuah kewajiban, akan tetapi benda zakat menyesuaikan kondisi suatu wilayah. Di tanah Arab pada masa nabi, yang menjadi zakat adalah gandum atau kurma karena itu makanan pokok mereka. Sebaliknya, di Indonesia tidak mungkin akan mengeluarkan zakat dengan gandum atau kurma seperti yang dilakukan nabi karena bahan makanan pokok mereka berbeda yaitu beras, sagu, ubi, dan sebagainya.
Keempat, keberlakuan hukum Islam tetap dengan sistem tadriji (bertahap), karena apabila suatu masalah dipaksakan kepada masyarakat, maka besar kemungkinan akan menjadi suatu trauma atau beban yang mengakibatkan mereka menjauh dari Islam.
Editor : Hamzah Alias