Malang, (Inmas Wajo) – Bahtsul Masail perdana Ma’had Aly As’adiyah se-Indonesia diselenggarakan oleh Ma’had Aly Al-Zamakhsyari Malang yang bertempat di Yayasan Pondok Modern Al-Rifa’ie Malang Jawa Timur, 11-12 Februari 2019.
Pokok pembahasan bahtsul masail mengenai emansipasi wanita menurut perspektif Islam, baik dalam hal sosial sampai politik. Pembahasan ini sesuai dengan takhassus yang diambil oleh Ma’had Aly Al-Zamakhsyari yakni Fiqh Wa Ushuluhu takhassus Fiqh al-Nisa’.
Pembahasan ini merupakan pembahasan yang cukup aktual, di mana peranan wanita semakin meningkat dalam kehidupan sosial. Seperti dalam hal pendidikan, guru dan dosen perempuan cukup banyak. Dalam profesi lain, banyak ditemukan karyawan, buruh hingga manager dari kalangan perempuan. Dunia politik pun banyak diisi oleh kalangan perempuan, baik legislatif maupun ekskutif.
Dr. Ainur Rofiq, M.Ag, Kepala Sub. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Mahad Aly membuka Bahtsul Masail Nasional Perdana Ma’had ‘Aly Indonesia. Dalam sambutannya, bapak Ainurrofiq menyatakan bahwa pesantren merupakan sistem pendidikan terbaik di dunia maupun di akhirat.
Beliau juga menjelaskan bahwa belakangan ini terdapat perdebatan mengenai UU Pesantren yang menghendaki pesantren untuk masuk ke dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan keagamaan. Namun rancangan ini ditolak karena dianggap akan membatasi ruang lingkup pesantren.
Dr KH Abdul Djalal (Ketua Asosiasi Ma’had Aly se-Indonesia) dalam sambutannya menyampaikan bahwa salah satu tradisi yang ingin di kembangkan, dijaga, dilestarikan dan dikembangkan oleh Ma’had Aly adalah tradisi Bahtsul Masail. Bahtsul Masail ini diharapkan oleh Dewan Masyayikh Ma’had Aly dan Bapak Menteri Agama untuk bisa membahas tentang masalah kebangsaan dan masalah kekinian bangsa ini.
“Bahtsul Masail merupakan salah satu tradisi pesantren yang harus terus dilesatrikan. Begitupun ketika menghadapi persoalan global, pesantren harus menjawabnya melalui Bahtsul Masail”. Jelasnya.
Kiyai Djalal juga sedikit mengkritik sistem Bahtsul Masaail yang berjalan selama ini. Beliau menyatakan bahwa sudah saatnya Bahtsul Masail tidak hanya merujuk pada Fiqh praktis namun juga harus melibatkan Ushul Fiqh, Maqashid Syar’iyyah maupun Qawaid Fiqhiyyah. Jika Bahtsul Masaail hanya merujuk pada Fiqh praktis, maka daya analisis dan kritis santri tidak akan berkembang. Fiqh praktis merupakan produk jadi yang dibentuk berdasarkan waktu dan konteks tertentu dan tidak selalu bisa diterapkan pada waktu dan konteks yang lain. Beda halnya ketika yang dijadikan rujukan adalah Ushul Fiqh, Maqashid Syar’iyyah maupun Qawaid Fiqhiyyah, karena ketiga akar Fiqh ini merupakan prinsip yang dapat dijadikan acuan kapanpun dan dimana pun.
Selebihnya Pak Yai Djalal berpesan agar santri tidak hanya memandang suatu persoalan hanya dengan kacamata intelektual, namun juga harus memandangnya dengan sisi spiritual. Perpaduan dua hal inilah yang selama ini membedakan pesantren dengan yang lain dan membuat pesantren lebih unggul.
Peserta dalam acara ini yaitu seluruh universitas dan Pondok Pesantren se-Jawa Madura dan seluruh Ma’had Aly di Indonesia. Ma’had Aly As’adiyah Sengkang mengirim 2 mahasantri Ketua DEMA Idil Hamzah dan Aswar Bahar untuk mengikuti Bahtsul Masail nasional (BMN) tersebut. (hsl/hmz)