Oleh: Subairi
(Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin DDI Paria)
Diantara nikmat Allah yang paling besar adalah nikmat iman. Iman adalah sumber kebahagiaan, sumber ketenangan, tembok pemisah antara manusia dan dosa serta maksiat sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya “tidak mencuri seorang pencuri selama masih beriman, tidak berzina seorang pezina selama masih beriman, dan tidak meminum khamr seorang pemabuk selama ia masih beriman”.
Kalau kita narasikan secara universal hadist ini maka akan bermakna tidak akan korupsi seorang koruptor selama masih beriman dan tidak akan mengkomsumsi seorang pecandu narkoba selama ia masih beriman. Bahwa apa yang kita saksikan di layar telivisi Indonesia tiap pagi, tiap siang dan tiap malam, pencurian dan perampokan terjadi dimana-mana, korupsi tiap hari bertambah, penyebabnya hanya satu yaitu krisis iman.
Kita sering mendengarkan dari para muballigh uraian sebuah hadist yang mengatakan bahwa “kemiskinan lebih mendekatkan kepada kekufuran”. Kalau kita melihat sejarah perjuangan baginda Rasulullah SAW, pembangunan yang dilakukan pertama kali selama kurang lebih 13 tahun di kota Mekkah yang dibangun hanya satu yaitu pembangunan iman. Rasulullah hanya mengajarkan laa ilaaha illallah kurang lebih 26 semester, kalau Nabi Nuh mengajarkan laa ilaha illallah selama 700 tahun tapi yang ikut kurang dari 100 orang. Pertanyannya. kenapa terlalu lama ? Karena mengajarkan persoalan iman bukanlah hal yang mudah dan gampang karena harus meyakinkan orang lain terhadap sesuatu yang tidak terlihat oleh mata kepala.
Manusia kalau ia tidak melihat biasanya malas, manusia nanti rajin dan bersungguh sungguh kalau ada yang ia lihat. Pahala tidak dilihat, neraka tidak dilihat, surga pun tidak dilihat sehingga kalau ulama sampai mulutnya berbusa memanggil orang untuk pergi shalat berjamaah dengan janji 27 pahala, kurang diindahkan karena pahala termasuk sesuatu yang tidak bisa diliihat oleh kasat mata. Di sinilah dibutuhkan peran para ulama, muballigh serta pemimpin untuk membangun iman.
Bagaimana dengan Abu Jahal orang yang setiap harinya melihat Muhammad tapi Abu Jahal sudah ditetapkan sebagai orang yang celaka ? Jawabannya, betul Abu Jahal setiap hari melihat Muhammad tetapi Abu Jahal tidak pernah melihat Nabi Muhammad. Itulah sebabnya ia diberi gelar Abu Jahal (Bapaknya orang bodoh). Apakah Abu Jahal orang bodoh dalam pengertian ilmu? Jawabannya, tidak, Abu Jahal adalah orang yang pintar, cerdas, cerdik dan pandai tetapi ia diberi gelar bapaknya orang bodoh karena Abu Jahal mengerti kebenaran terapi ia sendiri menginjak-injak kebenaran itu. Kalau demikian, jahiliyah sebenarnya tidak diikat oleh waktu dan tempat, kapan dan dimanapun ada orang mengerti akan kebenaran akan tetapi ia malah menginjak-injak kebenaran itu maka dialah Abu Jahal.
Kita tidak menginginkan di negara kita ini lahir Abu Jahal-Abu Jahal yang baru yang dapat merusak dan menghancurkan bangsa yang kita cintai ini. Perlu diketahui bahwa nikmat Allah bukan hanya harta, bukan hanya uang tetapi nikmat Allah meliputi hubbunnasi laka (orang cinta kepada diri kita), seorang pejabat yang dicintai oleh rakyatnya maka jabatannya adalah nikmat sebagai mana sabda Rasulullah SAW, “Kalian terutama para pemimpin tidak akan mampu menarik simpati rakyat dengan hartamu tetapi kalian hanya bisa menarik simpati rakyat dengan aman dan budi pekerti yang luhur.
Editor : Hamzah Alias