Oleh : H. Abdul Waris Ahmad
(PNS Kankemenag Kab. Wajo)
Musibah gempa, lumpur, dan tsunami telah meluluh lantahkan kota Palu, Donggala dan Sigi, 28 September lalu. Begitupun kemarin pada hari Selasa 22 Januari 2019, banjir besar melanda mulai dari Kab. Gowa, Jeneponto, Kota Makassar dan Kab. Maros serta beberapa kabupaten lainnya di Sulsel dikarenakan curah hujan yang besar sehingga bendungan Bili-bili pun tak sanggup menampung debit air hujan tersebut.
Musibah tersebut kini menyisakan banyak duka. Kehilangan keluarga menjadi perkara tidak terelakkan. Bukan hanya itu, kerugian materil dipastikan sangat banyak. Pekerja terpaksa kehilangan pekerjaan.
Sangat menyedihkan memang. Namun, lebih dari semua musibah itu, hal yang paling menakutkan adalah musibah mental mereka. Kerusakan mental jauh lebih berbahaya ketimbang kerusakan dalam bentuk materil.
Pemberitaan peristiwa itu memenuhi media. Baik media cetak, elektronik, dan media sosial. Sayangnya, sebahagian pemberitaan tidak berimbang apalagi yang dibagikan melalui FB, WA, Line, TwItter, dan lainnya. Beberapa isi WA dan FB terkadang terlalu menyudutkan korban. Seakan korban adalah orang “jahat” tidak bermoral, pelaku syirik, pelaku seks bebas, pelaku LGBT, dan lain sebagainya.
Keluarga korban tentulah tidak akan menerima jika pandangan itu dialamatkan kepadanya. Mereka dianggap mati konyol atau mati su’ul khatimah. Prasangka baik adalah cara bijak dalam membantu meringankan beban moral mereka.
Tahukah kita bahwa di antara korban yang meninggal atau yang kehilangam sanak familinya adalah orang alim, ahli ibada, dan bahkah kepala rumah tangga yang banting tulang peras keringat demi biaya kuliah dan demi menghidupi anak, orangtua dan istrinya. Bukankah nabi menyanjung para muhtarif atau pekerja keras. Beliau berpesan “khairul a’mal amalur rajuli bi yadihi” artinya sebaik-baik perbuatan adalah pekerja keras?
Kalaupun kita mengaggap bahwa musibah itu karena perbuatan syirik, LGBT, seks bebas, alkohol, pusat judi, dan kejahatan lainnya, bagaimana jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia atau di negara lainnya? Penduduk di sana tidak semua muslim. Boleh jadi yang melakukan tradisi kesyirikan “nomoni” adalah tradisi agama lain yang barang tentu sebuah ritual dalam agamanya.
Saya sangat berhati-hati dalam menilai mereka. Tidak berani menjustis mereka sebagai orang celaka. Di sana banyak keturunan Rasulullah, ada habaib, ada Pondok Pesantren Al-khairat yang menjadi benteng mereka. Jauh lebih baik kita bertakziyah untuk mereka dan berprasangka baik kepada mereka.
Bisa jadi mereka diberi ujian itu karena Allah tahu bahwa merekalah yang lebih bisa menerima ujian itu. Bukankah kita amat yakin akan firman-Nya “Allah tidak akan memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya” QS. al-Baqarah: 286)
Juga, bisa jadi mereka adalah para syuhada Allah. Rasulullah menjamin syahid bagi mereka yang wafat dalam memperjuankan kehidupan diri dan keluarganya. Syahid bagi mereka yang mati dalam menuntut ilmu.
Sabda Nabi “man kharaja min baitihi di talabil ilmi fahuwa fi sabilillahi hatta yarjia” artinya barangsiapa keluar rumah karena tujuan menuntut ilmu maka dia di jalan Allah sampai kembali”
Bukankah pula Rasulullah pernah meminta kepada Allah agar menangguhkan siksaan kepada umat-Nya? Allah menjawab “Allah tidak akan menyiksa mereka selama engkau Muhammad bersama mereka. Dan Allah tidak akan menyiksa mereka selama mereka ber-istigfar .”(QS. al-Anfal: 33).
Jadi, bencana itu terjadi bukan semata karena kejahatan. Sangat boleh jadi karena kondisi tanah labil, pergeseran lempengan bumi atau terjadi patahan dalam bumi. Bagaimana jika ujian itu dialamatkan kepada kita? Dapatkah kita menerima perlakuan sesama muslim yang menganggap kita mati su’ul khatimah konyol? Tentu tidak akan menerima.
Terkadang kita lebih hebat dari pada Tuhan. Menempatkan mereka didalam siksaan mendahului hisab dan timbangan amal. Padahal ajaran Islam menginginkan keselamatan untuk semua manusia. Rasulullah mengajarkan menghormati manusia baik yang beriman atau pun yang tidak. Yang masih hidup atau pun yang sudah mati.
Suatu ketika Rasulullah melewati suatu jalan. Pada saat yang bersamaan sekelompok Yahudi mengusung jenazah salah seorang dari mereka. Pada saat itu, Rasulullah mengatakan kepada sahabat-Nya diam dan jangan berjalan dulu. Sahabat nabi saat itu serentak berdiri menghormati mereka. Itu jenazah non muslim, bagaimana denga jenazah sesama muslim?
Rasulullah tidak pernah mencomooh, menghakimi apalagi mengkafirkan, mensyirikkan atau menganggap sesat seseorang karena suatu yang dialaminya. Nabi justru mengangkat tangan dan mendoakan almasaib.
Oleh karena itu janganlah kita menambah duka mereka. Mereka tidak menginginkan musibah itu. Pun tidak memilih musibah itu. Justru mereka adalah orang pilihan. Seyogyanya bersyukur dan lebih introspeksi diri karena musibah mereka adalah cermin besar bagi kita untuk memperbaiki diri, mengais ilmu menjadikan seluruh hudup bermanfaat bukan justru menjadi beban dan duka bagi sesama.
Janganlah menambah ketakutan dan meruntuhakan mental mereka lantaran ucapan dan celoteh kita. Bawalah mereka ke alam gembira. Doakanlah keselamatan untuk almarhum dan almarhumah serta ketenangan batin bagi yang masih hidup.
Editor : Hamzah Alias