Oleh : Abd. Waris, S.HI., M.HI
(PNS Kankemenag Kab. Wajo)
Sejak 14 abad silam, Rasulullah pernah menegaskan bahwa nabi dan Rasul itu tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi hanya mewariskan ilmu. Ulama adalah pewaris para nabi.
Secara historis tercatat bahwa peran ulama dari masa ke masa telah memberikan warna dalam transformasi ilmu dari satu genarasi ke generasi berikutnya. Bacaan Alquran dinukil secara turun temurun dengan jalan mutawatir yaitu komunitas mayoritas yang mustahil bersepakat dalam kedustaan. Demikian halnya dengan ilmu yang lain, seperti ilmu musthalah al hadis (ilmu riwayat dan dirayah), ilmu asbab al nuzul dan asbab al wurud (sejarah dan latar belakang turunnya ayat dan terucapnya sabda nabi), ilmu lugaat (bahasa) dan ilmu lainnya.
Kalimat “Ahl Sunnah wal Jamaah” adalah cara tepat untuk memberi label kepada para generasi pasca nabi Muhammad. Ahl Sunnah adalah masa nabi di mana seluruh kebutuhan dan kebuntuan yang dihadapi sahabat akan mendapatkan secara konstant petunjuk dan penjelasan nabi, sedangkan wal jamaah adalah ulama; baik dari kalangan sahabat, tabiin, tabi’i tabiin, dan ulama setelah mereka yang menjadi bagian dari mata rantai silsilah ilmu sampai kepada nabi.
Istilah ulama adalah mereka yang memiliki klasifikasi ilmu agama memadai dan diakui oleh masyarakat di mana mereka berkiprah. Selain itu, cara berpakaian, bertutur kata, bertingkah laku, berinteraksi dengan masyarakat dan menjadi solusi bagi kebutuhan jamaah adalah bagian tak terpisahkan dari seorang ulama. Mereka tidak hanya menguasai ilmu tentang al syariah (aturan-aturan agama), al aqidah (teologi), al akhlaq al karimah (integritas) akan tetapi juga dalam perkara hermenutik sosiologis, hermenutik antropoligis dan lainnya.
Jika pada pertemuan ulama dunia 1-3 April 2018 di Bogor Jawa Barat terkait isu teroris, islamophobia, ekstremisme, dan intoleran menegaskan bahwa Islam tidak perlu takut karena dalam garis sejarah tidak pernah terlibat dengan perang dunia I dan II. Maka, ada ketakutan lain yang harus diwaspadai oleh ulama yaitu kecenderungan umat pada hal-hal yang sifatnya instan.
Hal-hal bersifat instan ini merupakan salah satu karakter abad 21 dan menjadi tantangan besar bagi ulama. Jamaah milenial seakan tidak doyan lagi mengaji dan berguru di depan kiai, tidak mau lagi ke masjid mendengarkan tausiyahnya. Milenial lebih cenderung tinggal di rumah, kantor, tempat tidur atau tempat kerja mempelajari ilmu melalui handphone. Sasaran mereka adalah Google, facebook, twitter, instagram, whatshapp, dan bahkan youtube untuk meraup ilmu sebanyak-banyaknya.
Tak dapat disangkal bahwa kemajuan tehnologi yang dapat mengetuk jendela-jendela ilmu bagaikan wabah penyakit menular, amat sulit untuk dicarikan penawarnya karena selain sebagai kebutuhan juga menjadi life style, sehingga harus memasuki akar wabah itu untuk mengetahui sekaligus menawarkan jenis pil yang wajib dikonsumsi. Peran setiap pengemban agama dari berbagai latar belakang pun berlomba-lomba memajang kreasi untuk menarik viewers (pembaca/pemirsa). Kemudahan tehnologi inilah yang kemudian menghasilkan ustaz atau “kiai google”. Namun, belajar agama melalui praktek seperti ini akan sangat sulit memberikan filter, mereka tidak akan mampu memilih dan mendeteksi mana pendapat yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
Dampak lain dari perilaku instan tersebut adalah terkadang menabrakkan antara pesan luhur agama dengan konten yang bernuansa hoax. Tidak sedikit dari mereka bahkan mengadu antara pendapat ulama satu dengan yang lain dengan cara provokatif sehingga menimbulkan mosi tidak percaya atau preseden buruk bagi seorang ulama dalam masyarakat. Bahkan terkadang pemahaman mereka yang nihil terhadap agama dipakai melawan pemerintah dan kekuasaan yang dianggap memusyrikkan, memurtadkan atau mengkafirkan sekaligus. Sisi inilah pentingnya silsilah keilmuan yang baik sehingga arah dan tujuan dakwah berhasil dan tidak menyakiti apalagi menghakimi.
Kondisi ini mewajibkan seorang ulama tidak hanya andal dalam mengkaji kitab-kitab turats (kitab kuning-gundul) dan menunggu audiens datang mengaji, akan tetapi juga wajib mentransformasikan pesan-pesan agama melalui media sosial. Mereka dituntut oleh zaman untuk mengambil peran dalam menghiasi jendela-jendela facebook, twitter, dan youtube agar pandangan dan amar makruf, nahi munkarnya tidak hanya dinikmati oleh kalangan santri, akan tetapi juga masyarakat milenial. Abustani Ilyas (salah seorang guru besar bidang hadis UIN Alauddin Makassar dalam acara promosi doktor Abdul Malik, 26 Desember 2018 di gedung Pascasarjana UMI Makassar) menegaskan bahwa salah satu perkara wajib bagi ulama di zaman milenial adalah ber-media sosial yaitu punya skill untuk menyampaikan pesan agama melalui fb dan lainnya.
Sebagai generasi milenial sebaiknya cerdas dalam ber-penetrasi dengan media sosial. Salah satu poin penting yang harus dipahami adalah bahwa kecerdasan dan kemampuan meraih berbagai ilmu itu tidak dapat “diTuhankan” karena dibalik semua itu, ada yang paling rahasia dan dapat menembus infinitum lapisan teratas yang tak bisa diraih oleh banyak orang yaitu keberkahan ilmu. Keberkahan ilmu itu hanya dapat diraih jika dilakukan dengan cara talaqqi yaitu bertransformasi langsung dengan guru, musyafahah atau mulut dengan mulut. Suatu ketika malaikat Jibril datang ke nabi Muhammad dengan watak seorang pemuda berpakaian putih bersih, bagi para sahabat yang menyaksikan peristiwa itu menganggapnya orang asing. Ia bertanya tentang tiga hal, yaitu: iman, islam dan ihsan. Setelah itu sahabat bertanya “siapa itu ya Rasul?” Rasul menjawab “dia itu Jibril, datang bertanya untuk mengajar kalian tentang agamamu”. Peristiwa itu, Jibril mengajarkan cara mencari ilmu dengan bertemu langsung bahkan lutut dengan lutut antara murid dan guru saling bertemu dan rapat.
Kamaruddin Amin (Dirjen Pendis Kemenag RI) menuturkan bahwa seorang ulama wajib menguasai ilmu yang menjadi konsentrasinya, menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Mandarin, punya integritas atau akhlak yang kuat, dan menguasai media.
Secara faktual, ustad atau ulama yang menguasai media maka dialah yang akan menjadi panutan masyarakat milenial. Pesan agama yang mereka sampaikan melalui youtube, media TV, facebook, dan media lainnya akan lebih diminati oleh mereka ketimbang harus mendatangi ulama belajar.
Editor : Hamzah Alias