Oleh : Jamil Yunus
(Kepala MTs. As’adiyah Putra I Sengkang)
Kali ini, sebuah performa tidak pada biasanya ditampilkan oleh santri MTs As’adiyah Putra I Sengkang. Santri berseragam “Sarungan” (menggunakan sarung) mengikuti Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional Berbasis Komputer (UAMBN-BK) Tahun Pelajaran 2018/2019 pada hari terakhir, Jum’at, 22 Maret 2019.
Inisiasi ini dilakukan sebagai upaya mengokohkan tradisi dan memperkuat identitas sebagai santri dan sebagai umat Muslim di Nusantara.
Di Indonesia, sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi. Tak heran jika sebagian masyarakat Indonesia sering mengenakan sarung untuk shalat di masjid.
Hampir seluruh lapisan masyarakat sudah familiar dan akrab dengan sarung. Sarung tak hanya dikenakan kalangan santri pondok pesantren saja, namun telah menjadi pakaian ciri khas umat Islam Tanah Air.
Secara teologis, sarung sudah diklaim menjadi salah satu pakaian tradisi Muslim di Indonesia semacam pakaian untuk shalat, pergi ke masjid, pergi tahlilan ke tempat saudara maupun teman yang meninggal, dan memperingati hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Beberapa faktor yang membuat sarung begitu melekat dalam tradisi Islam di Indonesia, antara lain; sarung sangat mudah dipakai dan simpel. Selain itu, ukurannya yang panjang mudah untuk menutupi aurat dengan baik. Sarung juga longgar dan tebal sehingga tidak menunjukkan lekuk tubuh pemakainya. Sebuah falsafah mengatakan, “kaum sarungan itu lebih mudah beradaptasi, lebih dinamis, dan lebih fleksibel.”
Sarung sudah menjadi bagian dari identitas Muslim di Indonesia. Bahkan, sarung juga identik dengan santri yang mondok di pesantren. Mereka sering disebut sebagai ‘kaum sarungan’. Hampir di semua pesantren tradisional, para santri menggunakan sarung untuk kegiatan belajar mengajar maupun aktivitas sehari-hari.
Sejumlah bukti sejarah menunjukkan para aktivis kemerdekaan awal yang berasal dari kalangan santri menggunakan sarung untuk melakukan berbagai macam aktivitas, baik aktivitas kenegaraan maupun ibadah. Itulah yang membuat sarung identik dengan budaya Islam di Nusantara.
Suatu ketika, KH. Abdul Wahab Chasbullah pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.
Abdul Wahab ingin menunjukkan pentingnya menggunakan sarung sebagai warisan budaya dan identitas nasonalisme. Rupanya perjuangan berat kaum pesantren untuk menegakkan identitas sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya kaum kolonialis Belanda membuah hasil. Saat ini, sarung menjadi simbol kehormatan dan kesopanan yang sering digunakan untuk berbagai macam upacara sakral di tanah air.
Editor : Hamzah Alias